Selamat Tinggal Mak Mi
Kisah Dari : Sigit Wisnu Saputro
Aku terlahir
dengan memiliki 4 orang tua, yaitu 2 orang ayah dan 2 orang ibu. Mungkin itu
sangat aneh yaa, tapi itulah kenyataannya. Sejak bayi aku di asuh oleh orang
lain yang sekarang telah menjadi orang tua angkatku. Kedua orang tua angkatku
sudah menganggapku seperti anak mereka sendiri. Bahkan mereka lebih
menyayangiku dari pada anak mereka sendiri. Ibu angkatku kupanggil Mak Mi dan ayah angkatku ku panggil Pak Adi. Mereka memiliki tiga orang
anak.
Meski mereka
lebih menyayangiku, tapi ketiga anak mereka tidak sedikitpun cemburu kepadaku.
Bahkan mereka sudah menganggapku seperti adik mereka sendiri. Anak sulung Mak Mi biasa kupanggil Mbak
Sri, dan kedua adik laki-lakinya kupanggil Mas Hardi dan Mas Bambang. Kami
sudah selayaknya saudara kandung yang saling menyayangi dan melindungi. Sungguh
sempurna hidupku di masa itu.
Tapi semua
berubah seketika, ketika Mak Mi mengalami
sakit keras yang tak kunjung sembuh. Mak
Mi hanya bisa terbaring di atas tempat tidurnya. Aku sering menjenguknya
dan sesekali aku memijat kakinya. Derai senyum selalu terpancar di wajah Mak Mi saat kedatanganku. Meski aku
tahu, senyum Mak Mi itu palsu karena
terlihat jelas di wajahnya bahwa beliau menahan sakit dan berusaha tegar di
hadapanku. Karena Mak Mi tak kunjung
sembuh, membuatku jadi bosan. Dan aku menjadi jarang menjenguk Mak Mi lagi.
Sampai
akhirnya aku menyesali semua perbuatanku itu. Di waktu matahari masih mengintip
untuk muncul, dan aku masih tertidur. Dan tiba-tiba terdengar suara ayahku yang
mencoba membangunkanku. Aku sangat kaget, dan lebih kagetnya lagi saat ayahku
memberitahukan jika Mak Mi telah
meninggal. Tanpa pikir panjang, aku langsung bangkit dari tempat tidur dan
berlari ke rumah Mak Mi.
Di sana, aku
melihat Mak Mi yang terbaring kaku
di atas tempat tidur. Air mata mengalir tetes demi tetes dari kelopak
mataku. Rasa marah, kesal, dan kecewa
bercampur menjadi satu karena orang yang aku sayangi telah pergi dan tak akan
kembali. Aku menangis tanpa henti di depan jenazah Mak Mi yang sudah kaku. Seharian aku tak mau jauh dari Mak Mi, bahkan aku tak berangkat
sekolah karenanya. Aku tak mau makan, dan tak mandi. Jiwaku begitu terpukul,
dan meratapi semua ini hingga berlarut-larut.
Aku ikut
serta dalam penguburan Mak Mi, walau
masih dalam keadaan menangis. Mungkin ini adalah kehendak dari Allah, yang
menginginkanku untuk lebih dewasa. Mak
Mi memang sudah pergi, tapi Mak Mi akan
tetap ada di dalam jiwaku. Aku tak akan melupakan semua jasa-jasa Mak Mi, dan semoga Mak Mi tenang di alam sana.
“selamat tinggal Mak Mi, semoga kau bahagia di surga”