Undangan Debu
“Bagusnya
seperti apa ya pa?” ku panggil mesra tunanganku saat kita berdiskusi masalah
model undangan pernikahan yang akan kita pilih. Satu persatu-satu ku lepaskan
contoh undangan yang memenuhi genggaman tanganku sambil menentukan pilihan. Tak
lama kemudian, tanganku menahan salah satu contoh model undangan di tangan
sambil ku tunjukan kepadanya.
“model
ini bagus g pa? ada fotonya juga” saat ku tunjukan, kulihat dahinya yang putih
itu mengerut seperti ada yang sedang memenuhi otaknya yang super imaginative
itu, dengan sesekali pandangan matanya yang tajam di buang kearah undangan yang
ku perlihatkan kepadanya, dengan sedikit memainkan alisnya dan sambil berkata
“Bagus..”
Mungkin
dia g setuju dengan pilihanku, mungkin juga dia g enak kalau mau bilang g bagus
sehingga yang di lontarkan kepadaku hanya satu kata saja. Ya sudahlah ku ganti
topik pembicaraan saja, mungkin dia baru tidak ingin membahas masalah undangan,
fikir ku dalam hati mencoba mengalah.
Hari
ini langit terlihat cerah tidak seperti biasa, dengan hiasan mega yang
memanjakan pandanganku. Cahaya yang masuk dari celah-celah atap rumah menyentuh
kulitku yang dari tadi ku oleskan lotion, maklumlah atap rumah ku belum
terpasang kernit sehingga cahaya lebih mudah masuk.
Dari
sisi pojok ruang tamu, ku lihat tunanganku yang dari tadi duduk di kursi kayu
masih sibuk menghisap rokoknya sedangkan asbak diatas meja telah terisi lima
putung rokok yang hanya sisa busa.
Sayang
kalau hari secerah ini disia-siakan dengan berdiam diri dirumah, mungkin jalan
kepantai lebih mengasyikkan fikirku. Tanpa berfikir panjang, aku mendekatinya
sambil menepukkan tanganku kearah pundak yang berlapis kain kotak-kotak itu dan
mengajaknya untuk pergi jalan keluar.
“Kita
keluar yuk pa, jalan ke Pantai atau kemana gitu, numpung hari ini lagi cerah
nih. Yukkkk…” ku manjakan nada bicaraku sambil ku kedipkan mata nakalku
kepadanya.
“Yuk
yuk yuk…”
Ya
begitulah sikap kita, selalu serba manja kalau menginginkan sesuatu. Kayaknya
dia juga terbiasa dengan sikap manjaku, buktinya setiap keinginanku hampir
tidak pernah di tolaknya, mungkin juga karena dia terlalu sayang, fikirku
sambil sedikit kuiringi dengan senyuman.
***
Hari
ini memang cerah, panas matahari sudah mulai menembus tubuhku meskipun sudah
memakai jaket, namun tetap saja si supra 125 melejit siap mengantar kita sampai
ketujuan. Perjalanan dari rumahku kearah pantai memang lumayan jauh, hampir
memakan waktu satu jam perjalanan, jauhnya perjalanan sepertinya tak terasa jika
perjalanannya sama si mas pacar. Ya seperti itulah kata orang-orang, tapi
ternyata benar juga satu jam seperti semenit rasanya.
***
Kedua
tangan yang sedari tadi memegang setang motor, sesekali menunjukan aksi-aksi
jailnya. Tiba-tiba tangan kirinya lepas dari setang sembari menunjuk ke salah
satu arah, entah apa yang dimaksud aku belum mengerti. Ku coba mencari tahu apa
yang dia maksud, “kenapa pa?” tanyaku kepadanya sambil menjulurkan kepalaku
kearah muka kirinya.
Entah
apa yang dipikirkannya, pertanyaan yang ku lontarkan kepadanya belum juga dapat
jawaban. Selang jarak sekitar lima kiloan, tangan kirinya mengangkat menunjuk
lagi kesalah satu arah. Kali ini telunjuknya yang mengacung diiringi dengan
pertanyaan yang ditujukan padaku. “ini apa ma?”
Sekilas
pertanyaan yang singkat membuatku harus sigap menanggapi apa yang
ditunjukkannya. Ku lihat ada salah satu tanah kosong yang luas disebelah kiri jalan
baru saja terlewati, karena kecepatan mengendarai motor membuat objek lebih
cepat hilang dari pandangan. Mungkin dia ingin menunjukan tanah kosong kepadaku
atau mungkin ada sesuatu yang ada ditanah kosong itu yang ingin ditunjukannya
kepadaku.
“tanah
kosong ya?” aku coba menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadaku, meskipun aku
juga belum yakin dengan jawabanku sendiri.
Sepertinya
jawabanku memang salah, kulihat dia hanya memberikan sedikit senyumnya tanpa
memberikan keterangan apa-apa, mungkin memang jawabanku salah. “Huft…….” Kuhela
nafas panjang sambil memalingkan mukaku kearah kiri.
***
Perjalanan
menuju pantai mungkin tinggal seperempat perjalanan, kali ini garis-garis marka
yang berjejer seakan menyambut kedatangan kita. Begitu pula panas matahari
seakan memberikan ucapan selamat untuk perjalanan yang tidak lama lagi. Rasanya
sudah tidak sabar untuk segera sampai pantai.
Beberapa menit kemudian, dengan tangan yang
masih memegang stang supra 125 hitam tiba-tiba dia mengulang lagi tingkahnya.
Tangan kirinya diangkat, diarahkan telunjuknya kearah kiri dengan berkata
“lihat ini ma”.
Tak
ingin mengulangi kesalahan menjawab pertanyaannya, akupun memerhatikan yang
ditunjukkannya kepada ku dengan teliti. Mulai dari arah yang ditunjukkannya
kepadaku, ku lihat itu gedung sekolah yang direnovasi, aku yakin telunjuknya
mengarah kegedung itu. Aku berfikir kenapa papa menunjuk kearah gedung itu, ada
apa dengan gedung itu?? Rentetan pertanyaan mulai melambaikan tangan ke gedung
yang mulai menjauh dari pandanganku.
Saat
dia mengembalikan tangannya keposisi semula, posisi memegang stang motornya,
tiba-tiba aku baru teringat dengan telunjuk yang tadi diarahkan kekiri. Telunjuknya
tidak mengarah kearah satu titik, meskipun benar telunjuknya mengarah kekiri
tapi dengan perlahan telunjuknya melengkung kebelakang. Bagaimana bisa
menunjukkan sesuatu tapi arah yang ditunjukannya tidak tetap. Tapi tak lama kemudian
aku menyadari apa yang ditunjukkannya kepadaku. “papaaaaaaaaaaaaaa… “
kusentakkan suara manjaku kearahnya sambil memberikan sedikit colekan kearah
perut berlemaknya.
Ku
lihat dia nyengir dengan sedikit menundukkan kepalanya kebawah. “kenapa ma?”
“hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiihhh…
jail banget sih, kenapa mama yang ditunjuuukk..” kutunjukkan gregetanku kepadanya
dengan mencolek-colek lagi perutnya yang berlemak. Serentak juga dia seperti
ular hamil yang bergoyang diatas motor, “kali ini dia harus ngrasain jailnya
aku juga” fikir ku.
“kenapa
sih ma? Jangan di glelitikin, geli banget ini loh.” Berontaknya sambil menahan
ketawanya yang dari tadi terlanjur terlepas.
“Dari
tadi mama tuh mikir loh, kirain kan gedung-gedung tadi yang ditunjuk papa,
eeeeeeeeeeeeeehh… malahan jarinya bengkok kebelakang. Hiiiiiiiiiiiihh…”
“Ya
habisnya dari tadi mama diem terus sih, ya papa iseng-isenglah”
“Kayaknya
sekarang papa sudah puas deh ngerjain mama, sudah bikin mama bekerja keras
mikirnya”
“Hahahahaha…
manyunnya itu lo bikin kangen, jadi bawaannya pengen bikin manyun terus itu
bibir”
Raut
mukaku mulai memerah mendengar perkataan yang diucapkan papa kepadaku, dengan
senyum ku yang memanja dan tanpa berkata apa-apa, langsung kusembunyikan mukaku
kepunggung lebar yang ada di depanku karena malu.
***
Terlihat
ombak kecil yang menyapu pasir putih, dengan angin pantai sudah mulai mengusir
panas. Kulihat nelayan yang mengangkat jaringnya dari dalam air, mungkin dia
sedang bersenang hati karena tangkapan ikan hari ini banyak.
Hembusan
angin pantai membuat tubuh ku mulai lengket, terik matahari yang tersapu angin
menghela ujung jilbab yang ku slempangkan dipundak kiri. Aku dan tunanganku
duduk di atas tikar dibawah rindaangnya pohon kresem. Ku pandangi setiap sisi
pantai, dari arah selatan kulihat dua musisi cilik mulai mendekat, dengan penuh
semangat salah satu mereka mengayunkan sisa-sisa lempengan tutup botol yang
terpaku di kayu sedangkan yang satunya terlihat malu-malu membawa kaleng kosong
yang masih tertempel Frisian flag dibagian luar.
“syukuri
apa yang ada, hidup adalah anugrah, tetap jalani hidup ini tuk lakukan yang
terbaik….” Sautan nyanyian merdu si kecil membuatku harus sibuk memerhatikan
mereka dengan seksama.
Uang
receh yang dimasukkan papa kedalam kaleng membuat mereka berhenti menyanyi.
“yaaaaahh…
seharusnya dibiarin dulu pa, biarin adeknya nyelesaiin nyanyinya dulu.”
“kasihan
ma, biar dia dapet dari yang lain juga”
Ada
benarnya juga apa yang dikatakannya kepada ku, mungkin juga aku belum bisa
menghargai usaha orang. Saat melihat si musisi kecil mulai menjauh dari hadapan
ku, tiba-tiba papa berkata kepadaku dengan muka masih menghadap kedepan, aku
langsung sigap menanggapinya.
“nanti
papa pingin undangannya ada gambar karikatur nya kita, jadi kepalanya yang
masih sama cuma tubuhnya di perkecil, nanti kita disitu naik vespa, trus ayah
mama berusaha mengejar kita, hihihi…. Lucu kan, unik lagi. Ntar juga dikasih
gambar dua pulau, trus masing-masing ditaruh gambar karikatur, nanti juga ada
gambar kita yang di pertemukan, trus baru deh boncengan dengan vespa sedangkan
ayah mama ngejar dari belakang. Hahahahhaa… lucukan.” Imaginasinya mulai
menggelitik konsentrasiku.
Posting Komentar